Seiring dengan makin jauhnya zaman dari masa kenabian shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka semakin banyak pula kesesatan dan bid’ah yang
tersebar di tengah kaum muslimin[1], sehingga indahnya sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kebenaran makin asing dalam pandangan
mereka. Bahkan lebih dari pada itu, mereka menganggap
perbuatan-perbuatan bid’ah yang telah tersebar sebagai kebenaran yang
tidak boleh ditinggalkan, dan sebaliknya jika ada sunnah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dihidupkan dan diamalkan kembali,
mereka akan mengingkarinya dan memandangnya sebagai perbuatan buruk.
Sahabat yang mulia, Hudzaifah bin al-Yaman rahdiyallahu ‘anhu berkata,
“Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, sungguh perbuatan-perbuatan
bid’ah akan bermunculan (di akhir zaman) sehingga kebenaran (sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak lagi terlihat kecuali
(sangat sedikit) seperti cahaya yang (tampak) dari celah kedua batu
(yang sempit) ini. Demi Allah, sungguh perbuatan-perbuatan bid’ah akan
tersebar (di tengah kaum muslimin), sampai-sampai jika sebagian dari
perbuatan bid’ah tersebut ditinggalkan, orang-orang akan mengatakan:
sunnah (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah ditinggalkan!”[2].
Keadaan ini semakin diperparah kerusakannya dengan keberadaan para
tokoh penyeru bid’ah dan kesesatan, yang untuk mempromosikan dagangan
bid’ah, mereka tidak segan-segan memberikan iming-iming janji keutamaan
dan pahala besar bagi orang-orang yang mengamalkan ajaran bid’ah
tersebut.
Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau pada saat ini tidak
sedikit kaum muslimin yang terpengaruh dengan propaganda tersebut,
sehingga banyak di antara mereka yang lebih giat dan semangat
mengamalkan berbagai bentuk zikir, wirid maupun shalawat bid’ah yang
diajarkan para tokoh tersebut daripada mempelajari dan mengerjakan
amalan yang bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabat beliau radhiyallahu ‘anhum.
Tentu saja ini termasuk tipu daya setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah Ta’ala yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka
satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk
menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Bahkan setan berusaha menghiasi perbuatan-perbuatan bid’ah dan sesat
tersebut sehingga terlihat indah dan baik di mata manusia, dengan
mengesankan bahwa dengan mengerjakan amalan bid’ah tersebut hati menjadi
tenang dan semua kesusahan yang dihadapi akan teratasi (??!!).
Pernyataan-pernyataan seperti ini sangat sering terdengar dari para
pengikut ajaran-ajaran bid’ah tersebut, sebagai bukti kuatnya cengkraman
tipu daya setan dalam diri mereka. Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia
menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak
diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS Faathir:8).
Sumber Ketenangan dan Penghilang Kesusahan yang Hakiki
Setiap orang yang beriman kepada Allah Ta’ala wajib meyakini bahwa
sumber ketenangan jiwa dan ketentraman hati yang hakiki adalah dengan
berzikir kepada kepada Allah Ta’ala, membaca al-Qur’an, berdoa
kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang maha Indah, dan
mengamalkan ketaatan kepada-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
berzikir (mengingat) Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati
menjadi tenteram” (QS ar-Ra’du:28).
Artinya: dengan berzikir kepada Allah Ta’ala segala kegalauan dan
kegundahan dalam hati mereka akan hilang dan berganti dengan kegembiraan
dan kesenangan[3].
Bahkan tidak ada sesuatupun yang lebih besar mendatangkan ketentraman
dan kebahagiaan bagi hati manusia melebihi berzikir kepada Allah
Ta’ala[4].
Salah seorang ulama salaf berkata, “Sungguh kasihan orang-orang yang
cinta dunia, mereka (pada akhirnya) akan meninggalkan dunia ini, padahal
mereka belum merasakan kenikmatan yang paling besar di dunia ini”.
Maka ada yang bertanya, “Apakah kenikmatan yang paling besar di dunia
ini?” Ulama ini menjawab, “Cinta kepada Allah, merasa tenang ketika
mendekatkan diri kepada-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, serta
merasa bahagia ketika berzikir dan mengamalkan ketaatan kepada-Nya”[5].
Inilah makna ucapan yang masyhur dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –
semoga Allah Ta’ala merahmatinya – , “Sesungguhnya di dunia ini ada
jannnah (surga), barangsiapa yang belum masuk ke dalam surga di dunia
ini maka dia tidak akan masuk ke dalam surga di akhirat nanti”[6].
Makna “surga di dunia” dalam ucapan beliau ini adalah kecintaan (yang
utuh) dan ma’rifah (pengetahuan yang sempurna) kepada Allah Ta’ala
(dengan memahami nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan cara baik dan
benar) serta selalu berzikir kepada-Nya, yang dibarengi dengan perasaan
tenang dan damai (ketika mendekatkan diri) kepada-Nya, serta selalu
mentauhidkan (mengesakan)-Nya dalam kecintaan, rasa takut, berharap,
bertawakkal (berserah diri) dan bermuamalah, dengan menjadikan
(kecintaan dan keridhaan) Allah Ta’ala satu-satunya yang mengisi dan
menguasai pikiran, tekad dan kehendak seorang hamba. Inilah kenikmatan
di dunia yang tiada bandingannya yang sekaligus merupakan qurratul ‘ain
(penyejuk dan penyenang hati) bagi orang-orang yang mencintai dan
mengenal Allah I[7].
Demikian pula jalan keluar dan penyelesaian terbaik dari semua masalah
yang dihadapi seorang manusia adalah dengan bertakwa kepada Allah
Ta’ala, sebagaimana dalam firman-Nya,
”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan
baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan
memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya” (QS.
ath-Thalaaq:2-3).
Ketakwaan yang sempurna kepada Allah tidak mungkin dicapai kecuali
dengan menegakkan semua amal ibadah, serta menjauhi semua perbuatan yang
diharamkan dan dibenci oleh Allah Ta’ala[8].
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman,
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan
baginya kemudahan dalam (semua) urusannya” (QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta
menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan
masalah yang dihadapinya)[9].
Adapun semua bentuk zikir, wirid maupun shalawat yang tidak bersumber
dari petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun banyak
tersebar di masyarakat muslim, maka semua itu adalah amalan buruk dan
tidak mungkin akan mendatangkan ketenangan yang hakiki bagi hati dan
jiwa manusia, apalagi menjadi sumber penghilang kesusahan mereka. Karena
semua perbuatan tersebut termasuk bid’ah[10] yang jelas-jelas telah
diperingatkan keburukannya oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya semua
perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat,
dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”[11].
Hanya amalan ibadah yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bisa membersihkan hati
dan mensucikan jiwa manusia dari noda dosa dan maksiat yang
mengotorinya, yang dengan itulah hati dan jiwa manusia akan merasakan
ketenangan dan ketentraman.
Allah Ta’ala berfirman,
“Sungguh Allah telah memberi karunia (yang besar) kepada orang-orang
yang beriman ketika Allah mengutus kepada mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
mensucikan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al
Qur-an) dan Al Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan
Rasul) itu, mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata” (QS. Ali
‘Imraan:164).
Makna firman-Nya “mensucikan (jiwa) mereka” adalah membersihkan mereka
dari keburukan akhlak, kotoran jiwa dan perbuatan-perbuatan jahiliyyah,
serta mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya
(hidayah Allah I)[12].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu
(al-Qur’an) dan penyembuh bagi penyakit-penyakit dalam dada (hati
manusia), dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” (QS
Yuunus:57).
Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
perumpaan petunjuk dari Allah Ta’ala yang beliau bawa seperti hujan
baik yang Allah Ta’ala turunkan dari langit, karena hujan yang turun
akan menghidupkan dan menyegarkan tanah yang kering, sebagaimana
petunjuk Allah Ta’ala akan menghidupkan dan menentramkan hati manusia.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perumpaan
bagi petunjuk dan ilmu yang Allah wahyukan kepadaku adalah seperti air
hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi…“[13].
Ketenangan Batin yang Palsu
Kalau ada yang berkata, Realitanya di lapangan banyak kita dapati
orang-orang yang mengaku merasakan ketenangan dan ketentraman batin (?)
setelah mengamalkan zikir-zikir, wirid-wirid dan shalawat-shalawat
bid’ah lainnya.
Jawabannya: Kenyataan tersebut di atas tidak semua bisa diingkari,
meskipun tidak semua juga bisa dibenarkan, karena tidak sedikit
kebohongan yang dilakukan oleh para penggemar zikir-zikir/wirid-wirid
bid’ah tersebut untuk melariskan dagangan bid’ah mereka.
Kalaupun pada kenyataannya ada yang benar-benar merasakan hal tersebut
di atas, maka dapat dipastikan bahwa itu adalah ketenangan batin yang
palsu dan semu, karena berasal dari tipu daya setan dan tidak bersumber
dari petunjuk Allah I. Bahkan ini termasuk perangkap setan dengan
menghiasi amalan buruk agar telihat indah di mata manusia.
Allah Ta’ala berfirman,
“Apakah orang yang dihiasi perbuatannya yang buruk (oleh setan) lalu ia
menganggap perbuatannya itu baik, (sama dengan dengan orang yang tidak
diperdaya setan?), maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya”
(QS Faathir:8).
Artinya: setan menghiasi perbuatan mereka yang buruk dan rusak, serta mengesankannya baik dalam pandangan mata mereka[14].
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu
setan-setan (dari kalangan) manusia dan (dari kalangan) jin, yang mereka
satu sama lain saling membisikkan perkataan-perkataan yang indah untuk
menipu (manusia)” (QS al-An’aam:112).
Artinya: para setan menghiasi amalan-amalan buruk bagi manusia untuk menipu dan memperdaya mereka[15].
Demikianlah gambaran ketenangan batin palsu yang dirasakan oleh
orang-orang yang mengamalkan zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah, yang pada
hakekatnya bukan ketenangan batin, tapi merupakan tipu daya setan untuk
menyesatkan manusia dari jalan Allah Ta’ala, dengan mengesankan pada
mereka bahwa perbuatan-perbuatan tersebut baik dan mendatangkan
ketentraman batin.
Bahkan sebagian mereka mengaku merasakan kekhusyuan hati yang mendalam
ketika membaca zikir-zikir/wirid-wirid bid’ah tersebut melebihi apa
yang mereka rasakan ketika membaca dan mengamalkan
zikir-zikir/wirid-wirid yang bersumber dari wahyu Allah Ta’ala.
Padahal semua ini justru merupakan bukti nyata kuatnya kedudukan dan
tipu daya setan bersarang dalam diri mereka. Karena bagaimana mungkin
setan akan membiarkan manusia merasakan ketenangan iman dan tidak
membisikkan was-was dalam hatinya?
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah membuat perumpaan hal ini[16] dengan
seorang pencuri yang ingin mengambil harta orang. Manakah yang akan
selalu diintai dan didatangi oleh pencuri tersebut: rumah yang berisi
harta dan perhiasan yang melimpah atau rumah yang kosong melompong
bahkan telah rusak?
Jawabnya: jelas rumah pertama yang akan ditujunya, karena rumah itulah
yang bisa dicuri harta bendanya. Adapun rumah yang pertama, maka akan
“aman” dari gangguannya karena tidak ada hartanya, bahkan mungkin rumah
tersebut merupakan lokasi yang strategis untuk dijadikan tempat
tinggal dan sarangnya.
Demikinlah keadaan hati manusia, hati yang dipenuhi tauhid dan keimanan
yang kokoh kepada Allah Ta’ala, karena selalu mengamalkan
petunjuk-Nya, akan selalu diintai dan digoda setan untuk dicuri
keimanannya, sebagaimana rumah yang berisi harta akan selalu diintai dan
didatangi pencuri.
Oleh karena itu, dalam sebuah hadits shahih, ketika salah seorang
sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, Wahai
Rasulullah, sesungguhnya aku membisikkan (dalam) diriku dengan sesuatu
(yang buruk dari godaan setan), yang sungguh jika aku jatuh dari langit
(ke bumi) lebih aku sukai dari pada mengucapkan/melakukan keburukan
tersebut. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah
maha besar, Allah maha besar, Allah maha besar, segala puji bagi Allah
yang telah menolak tipu daya setan menjadi was-was (bisikan dalam
jiwa)”[17].
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itulah (tanda) kemurnian iman”[18].
Dalam memahami hadits yang mulia ini ada dua pendapat dari para ulama:
- Penolakan dan kebencian orang tersebut terhadap keburukan yang dibisikkan oleh setan itulah tanda kemurnian iman dalam hatinya
- Adanya godaan dan bisikkan setan dalam jiwa manusia itulah tanda
kemurnian iman, karena setan ingin merusak iman orang tersebut dengan
godaannya[19].
Adapun hati yang rusak dan kosong dari keimanan karena jauh dari
petunjuk Allah Ta’ala, maka hati yang gelap ini terkesan “tenang” dan
“aman” dari godaan setan, karena hati ini telah dikuasai oleh setan, dan
tidak mungkin “pencuri akan mengganggu dan merampok di sarangnya
sendiri”.
Inilah makna ucapan sahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhuma, ketika ada yang mengatakan kepada beliau,
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi menyangka bahwa mereka tidak diganggu
bisikan-bisikan (setan) dalam shalat mereka”. Abdullah bin ‘Abbas
menjawab, “Apa yang dapat dikerjakan oleh setan pada hati yang telah
hancur berantakan?”[20].
Nasehat dan Penutup
Tulisan ringkas ini semoga menjadi motivasi bagi kaum muslimin untuk
meyakini indahnya memahami dan mengamalkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang hanya dengan itulah seorang hamba
bisa meraih kebahagiaan dan ketenangan jiwa yang hakiki dalam
kehidupannya. Allah Ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya
yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[21] hidup
bagimu” (QS al-Anfaal:24).
Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata, “(Ayat
ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat (indah) hanyalah
didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan
Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang bahagia dan
indah)…Maka kehidupan baik (bahagia) yang hakiki adalah kehidupan
seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun
batin”[22].
Sebagai penutup, akan kami kutip nasehat Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu yang berbunyi,
“Wahai saudarakau sesama muslim, waspada dan hindarilah (semua) bentuk
zikir dan wirid bid’ah yang akan menjerumuskanmu ke dalam jurang syirik
(menyekutukan Allah Ta’ala). Berkomitmenlah dengan zikir (wirid) yang
bersumber dari (petunjuk) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
yang berbicara bukan dengan landasan hawa nafsu, (melainkan dari wahyu
Allah Ta’ala). Dengan mengikuti (petunjuk) beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, (kita akan meraih) hidayah Allah Ta’ala dan keselamatan (di
dunia dan akhirat). (Sebaliknya) dengan menyelisihi (petunjuk) beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam, menjadikan amal perbuatan kita tertolak
(tidak diterima oleh Allah Ta’ala). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan (dalam agama
Islam) yang tidak sesuai dengan petunjuk kami, maka amalan tersebut
tertolak” (HSR Muslim)[23].
Kota Kendari, 23 Syawwal 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA
Artikel www.muslim.or.id
[1] Lihat ucapan imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “I’laamul muwaqqi’iin” (4/118).
[2] Dinukil oleh imam asy-Syaathibi dalam kitab “al-I’tishaam” (1/106 – Tahqiiq syaikh Salim al-Hilali).
[3] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 417).
[4] Ibid.
[5] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfaan” (1/72).
[6] Dinukil oleh murid beliau Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Waabilush shayyib” (hal 69).
[7] Lihat kitab “al-Waabilush shayyib” (hal. 69).
[8] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 197).
[9] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[10] Semua perbuatan yang diada-adakan dengan tujuan untuk mendekatkan
diri kepada Allah, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah r.
[11] HSR Muslim (no. 867), an-Nasa-i (no. 1578) dan Ibnu Majah (no. 45).
[12] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (1/267).
[13] HSR Al Bukhari (no. 79) dan Muslim (no. 2282).
[14] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 685).
[15] Lihat kitab “Ma’aalimut tanziil” (3/180).
[16] Dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 40-41).
[17] HR Ahmad (1/235) dan Abu Dawud (no. 5112).
[18] HSR Mualim (no. 132).
[19] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “al-Fawaa-id” (hal. 174).
[20] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab beliau “al-Waabilush shayyib” (hal. 41).
[21] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).
[22] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).
[23] Kitab “fadha-ilush shalaati wassalaam” (hal. 49).
No comments:
Post a Comment