Kematian merupakan persinggahan pertama manusia di alam akhirat. Al
Qurthubiy berkata dalam At Tadzkirah, “Kematian ialah terputusnya
hubungan antara ruh dengan badan, berpisahnya kaitan antara keduanya,
bergantinya kondisi, dan berpindah dari satu negeri ke negeri lainnya.”
Yang dimaksud dengan kematian dalam pembahasan berikut ini adalah al
maut al kubra, sedangkan al maut ash shughra sebagaimana dimaksud oleh
para ulama, ialah tidur. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Allah
memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang
belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahan jiwa (orang) yang telah Dia
tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu
yang ditentukan.” (QS. Az Zumar : 42)[1]
Orang yang Cerdas
Orang yang cerdas adalah orang yang tahu persis tujuan hidupnya.
Kemudian mempersiapkan diri sebaik-baiknya demi tujuan tersebut. Maka,
jika akhir kesempatan bagi manusia untuk beramal adalah kematian,
mengapa orang-orang yang cerdas tidak mempersiapkannya?
Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma berkata, “Suatu hari aku duduk bersama
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang seorang
lelaki dari kalangan Anshar, kemudian ia mengucapkan salam kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah,
siapakah orang mukmin yang paling utama?’ Rasulullah menjawab, ‘Yang
paling baik akhlaqnya’. Kemudian ia bertanya lagi, ‘Siapakah orang
mukmin yang paling cerdas?’. Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak
mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian
tersebut, itulah orang yang paling cerdas.’ (HR. Ibnu Majah, Thabrani,
dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419
berkata : hadits hasan)[2]
Pemutus Segala Kelezatan
Dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Perbanyaklah mengingat pemutus
segala kelezatan’, yaitu kematian. (HR. At Tirmidzi, Syaikh Al Albaniy
dalam Shahih An Nasa’iy 2/393 berkata : “hadits hasan shahih”)
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly hafizhahullah menjelaskan perihal
hadits di atas, “Dianjurkan bagi setiap muslim, baik yang sehat maupun
yang sedang sakit, untuk mengingat kematian dengan hati dan lisannya.
Kemudian memperbanyak hal tersebut, karena dzikrul maut (mengingat mati)
dapat menghalangi dari berbuat maksiat, dan mendorong untuk berbuat
ketaatan. Hal ini dikarenakan kematian merupakan pemutus kelezatan.
Mengingat kematian juga akan melapangkan hati di kala sempit, dan
mempersempit hati di kala lapang. Oleh karena itu, dianjurkan untuk
senantiasa dan terus menerus mengingat kematian.”[3]
Dan Merekapun Ingin Kembali
Sebaliknya orang-orang yang semasa hidupnya sangat sedikit mengingat
mati, dari kalangan orang-orang kafir dan mereka yang tidak menaati
seruan para Rasul, akan meminta tangguh dan udzur ketika bertemu dengan
Rabb mereka kelak di akhirat. Inilah penyesalan yang paling mendalam
bagi manusia yang tidak mengingat kematian.
“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada
waktu itu) datang adzab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang
dzalim: “Ya Rabb kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke
dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi
seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul. (Kepada mereka dikatakan):
“Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa sekali-kali
kamu tidak akan binasa?” (QS. Ibrahim : 44)
“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu
sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia
berkata: “Wahai Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku
sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan
termasuk orang-orang yang shaleh? Dan Allah sekali-kali tidak akan
menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun :
10-11)
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang
kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: “ Wahai Rabb-ku
kembalikanlah aku (ke dunia). Agar aku berbuat amal shaleh terhadap apa
yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah
perkataan yang diucapkannya saja.” (QS. Al Mu’minun : 99-100)[4]
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy berkata mengenai ayat dalam
Surat Al Mu’minun, “Allah Ta’ala mengabarkan keadaan orang-orang yang
berhadapan dengan kematian, dari kalangan mufrithin (orang-orang yang
bersikap meremehkan perintah Allah -pent) dan orang-orang yang zhalim.
Mereka menyesal dengan kondisinya ketika melihat harta mereka, buruknya
amalan mereka, hingga mereka meminta untuk kembali ke dunia. Bukan
untuk bersenang-senang dengan kelezatannya, atau memenuhi syahwat
mereka. Akan tetapi mereka berkata, ‘Agar aku berbuat amal shaleh
terhadap apa yang telah aku tinggalkan.” Beliau kembali menjelaskan,
“Apa yang mereka perbuat tidaklah bermanfaat sama sekali, melainkan
hanya ada kerugian dan penyesalan. Pun perkataan mereka bukanlah
perkataan yang jujur, jika seandainya mereka dikembalikan lagi ke
dunia, niscaya mereka akan kembali melanggar perintah Allah.”[5]
Pendekkan Angan-Anganmu!
Sikap panjang angan-angan akan membuat seseorang malas beramal, mengira
hidup dan umur mereka panjang sehingga menunda-nunda dalam beramal
shalih.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu beliau berkata, “Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam membuat segi empat, kemudian membuat garis panjang
hingga keluar dari persegi tersebut, dan membuat garis-garis kecil dari
samping menuju ke tengah. Kemudian beliau berkata, ‘Inilah manusia,
dan garis yang mengelilingi ini adalah ajalnya, dan garis yang keluar
ini adalah angan-angannya. Garis-garis kecil ini adalah musibah dalam
hidupnya, jika ia lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini, jika ia
lolos dari ini, ia akan ditimpa dengan ini.” (HR. Bukhari, lihat Fathul
Bari I/236-235)
Dari Anas beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Setiap anak Adam akan menjadi tua dan hanya tersisa darinya
dua hal: ambisi dan angan-angannya”[6]
Oleh karena itu, di antara bentuk dzikrul maut adalah memperpendek angan-angan, dan tidak menunda-nunda dalam beramal shalih.
Dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : Rasulullah
shallallaahu ’alaihi wa sallam pernah memegang pundak kedua pundakku
seraya bersabda : “Jadilah engkau di dunia seakan-akan orang asing atau
pengembara “. Ibnu Umar berkata : “Jika kamu berada di sore hari jangan
tunggu pagi hari, dan jika kamu berada di pagi hari jangan tunggu sore
hari, gunakanlah kesehatanmu untuk (persiapan saat) sakitmu dan
kehidupanmu untuk kematianmu”. (HR. Al-Bukhari, lihat Al Fath I/233)
Faktor-Faktor yang Dapat Mengingatkan Kematian
[1] Ziarah kubur, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Berziarah kuburlah kalian sesungguhnya itu akan mengingatkan kalian
pada akhirat” (HR. Ahmad dan Abu Daud dan dishahihkan oleh Al Albani)[7]
[2] mengunjungi mayit ketika dimandikan dan melihat proses pemandiannya
[3] menyaksikan proses sakaratul maut dan membantu mentalqin
[4] mengantar jenazah, menyolatkan, dan ikut menguburkannya
[5] membaca Al Qur’an, terutama ayat-ayat yang mengingatkan kepada
kematian dan sakaratul maut. Seperti firman Allah Ta’ala yang artinya,
“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya” (QS. Qaaf : 19)
[6] merenungkan uban dan penyakit yang diderita, karena keduanya merupakan utusan malaikat maut kepada seorang hamba
[7] merenungkan ayat-ayat kauniyah yang telah disebutkan Allah Ta’ala
sebagai pengingat bagi hamba-hambaNya kepada kematian. Seperti gempa
bumi, letusan gunung berapi, banjir, tanah longsor, badai, dan
sebagainya
[8] menelaah kisah-kisah orang maupun kaum terdahulu ketika menghadapi kematian, dan kaum yang didatangkan bala’ atas mereka
Faidah Mengingat Kematian
Di antara faidah mengingat kematian adalah : [1] memotivasi untuk
mempersiapkan diri sebelum terjadinya kematian; [2] memendekkan
angan-angan, karena panjang angan-angan merupakan sebab utama kelalaian;
[3] menjadikan sikap zuhud terhadap dunia, dan ridha dengan bagian
dunia yang telah diraih walaupun sedikit; [4] sebagai motivasi berbuat
ketaatan; [5] sebagai penghibur seorang hamba tatkala memperoleh musibah
dunia; [6] mencegah dari berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam
menikmati kelezatan dunia; [7] memotivasi untuk segera bertaubat dan
memperbaiki kesalahan yang telah diperbuat; [8] melembutkan hati dan
mengalirkan air mata, mendorong semangat untuk beragama, dan mengekang
hawa nafsu; [9] menjadikan diri tawadhu’ dan menjauhkan dari sikap
sombong dan zhalim dan; [10] memotivasi untuk saling memaafkan dan
menerima udzur saudaranya.[8]
Penulis: Yhouga AM
Artikel www.muslim.or.id
[1] Al Qiyamah As Sughra, Syaikh Dr. Sulaiman Al Asyqar, hal. 15-16 cet. Dar An Nafais
[2] Disebutkan dalam Kitab At Tazkirah bi Ahwalil Mauta wa Umuril
Akhirah, Imam Al Qurthubiy dalam bab Dzikrul Maut wa Fadhluhu wal
Isti’dadu lahu I/120, cet. Maktabah Dar Al Minhaj
[3] Bahjatun Nazhirin Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly, I/634 cet. Dar Ibnul Jauziy
[4] Imam Nawawi berdalil dengan ayat-ayat tersebut dalam Riyadhus
Shalihin bab Dzikrul Maut wa Qashrul Umal (Mengingat Kematian dan
Memendekkan Angan-Angan)
[5] Taisir Karimirrahman, Syaikh Abdurrahman bin Nshir As Sa’diy, hal. 531, cet. Dar Ibnu Hazm
[6] HR. Baihaqi dalam Az Zuhd Al Kabir no. 454, Al Hafizh Al Iraqiy
berkata hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam “Qashrul Umal”
dengan sanad yang shahih
[7] Silahkan merujuk pembahasan lebih lengkap mengenai ziarah kubur
dalam artikel bulletin At Tauhid terdahulu, “Saat Kubur Jadi Tempat
Ibadah” http://buletin.muslim.or.id/aqidah/saat-kubur-jadi-tempat-ibadah
[8] Brosur “Kafa bil Mauti Wa’izh”, Darul Wathan
Sumber Artikel:
http://muslim.or.id/tazkiyatun-nufus/ingat-mati.html
No comments:
Post a Comment